Minggu, 27 Januari 2013

Tanggung Jawab Pasca Tambang Pada Industri Ekstraktif Migas


Dalam lima tahun terakhir, sektor energi dan sumber daya mineral menyumbang rata-rata 20-30% dari total penerimaan negara. Dimana sebagian besarnya ditopang oleh sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas). Selain perannya sebagai sumber penerimaan negara, sektor Migas memegang peranan penting dalam penyediaan energi, penggerak investasi, penyedia bahan baku industri, serta efek berantainya dalam menciptakan lapangan kerja, menggerakkan perekonomian dan jalannya pembangunan di pemerintahan, baik di pusat maupun daerah.
Industri ekstraktif (hulu) Migas, merupakan industri yang sarat dengan modal, teknologi dan juga resiko. Salah satu resiko dari kegiatan ekstraktif Migas ini adalah dampak yang ditimbulkannya bagi lingkungan. Seluruh proses pelaksanaan kegiatan operasional eksplorasi dan eksploitasi Migas secara langsung maupun tidak langsung akan berakibat pada perubahan rona lingkungan, baik pada tahap prakonstruksi, konstruksi dan pemboran, operasi produksi, pasca operasi hingga tahap penutupan tambang (decommissioning).
Merupakan tanggung jawab perusahaan, pemerintah dan semua pihak untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas. Secara normatif, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; menjamin keselamatan, kesehatan, keseimbangan dan keberlangsungan kehidupan manusia, makhluk hidup, dan kelestarian ekosistem; serta mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin terpenuhinya keadilan bagi generasi kini dan generasi mendatang.
Salah satu bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kegiatan eskplorasi dan eksploitasi Migas adalah pelaksanaan decommissioning yang bertanggungjawab terhadap lingkungan, khususnya pada tahapan pemulihan lingkungan yang sering disebut dengan Abandonment and Site Restoration (ASR). Secara umum decommissioning diartikan sebagai kondisi dimana kegiatan operasi produksi (eksploitasi) Migas telah berakhir . Pada masa ini terjadi pembongkaran fasilitas yang tidak dipergunakan dan juga upaya pemulihan lokasi yang sering disebut sebagai abandonment and site restoration (ASR). Abandoment diartikan sebagai pemindahan atau pembongkaran instalasi produksi diantaranya pipa-pipa, terminal dan fasilitas bongkar muat . Sementara restorasi merupakan pemulihan lokasi seperti camp, sumur-sumur, jalur pipa, terminal dan fasilitas bongkar muat serta kantor, kepada kondisi awal atau kondisi (untuk pemanfaatan) di masa depan .
Peraturan di Indonesia tidak secara eksplisit menyebutkan istilah decomissioning akan tetapi pasca operasi pertambangan dan istilah Abandonment and Site Restoration (ASR). Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai definisi pasca operasi pertambangan. Ketentuan Umum PP No. 79 tahun 2010 menyebutkan plug and abandonment sebagai penutupan dan peninggalan sumur, kemudian site restoration diartikan sebagai pemulihan bekas penambangan. Dokumen lain, yakni laporan hasil Pemeriksaan BPK tanggal 1 Juli 2010 menyebutkan istilah Kegiatan Pasca Operasi (KPO), kemudian tahap pelaksanaan kegiatan pemindahan seluruh peralatan dan instalasi dari Wilayah Kerja Kontrak Kerja Sama (abandonment), dan kegiatan pemulihan yang diperlukan atas kondisi lokasi sesuai dengan ketentuan pemerintah yang berlaku (site restoration) . Pada Surat Keputusan BPMIGAS mengenai Pedoman Tata Kerja Abandonment and Site Restoration, definisi ASR adalah kegiatan untuk menghentikan pengoperasian fasilitas produksi serta sarana penunjang lainnya secara permanen dan menghilangkan kemampuannya untuk dapat dioperasikan kembali, serta melakukan pemulihan lingkungan di wilayah Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi .
Terkait ASR di Indonesia, data menunjukkan bahwa pada 2004, ada sekitar 21 dari 448 anjungan Wilayah Kerja Migas yang telah mencapai masa decommissioning . Sedangkan berkaitan dengan pendanaan, di akhir tahun 2009 saja, total dana ASR yang disetorkan Kontraktor KKS kepada pemerintah mencapai 135.426.712 USD. Dana tersebut disetorkan kepada Bank BUMN melalui perjanjian rekening bersama antara BP Migas dengan kontraktor KKS. Sedangkan di tahun 2010, per November 2010 dana ASR telah mencapai sekitar 162 juta USD .
Indonesia merupakan negara penghasil Migas, akan tetapi aspek penanganan dan pengaturan decommissioning di sektor pertambangan Migas merupakan hal yang baru. Padahal, salah satu prinsip dari penyelenggaraan kegiatan usaha Migas di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 (pasal 3) bertujuan untuk “menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup”.
Decommissioning dalam industri ekstraktif Migas yang mencakup aspek ASR merupakan hal yang sangat penting, tidak hanya menyangkut pemulihan dan pengembalian fungsi lingkungan, melainkan juga menyangkut pertanggungjawaban dan pembiayaannya. Apabila aspek ini diabaikan, dikhawatirkan akan terjadi permasalahan di masa mendatang terutama ketika operasi-operasi pertambangan Migas tersebut telah selesai, dan ketika perusahaan yang beroperasi tersebut telah meninggalkan Indonesia.
Pentingnya ASR pada pertambangan lepas pantai
Wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan dan perairan pedalaman . Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal luas kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Sementara itu, Perairan pedalaman Indonesia adalah semua parairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup .
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia adalah daerah di luar Laut Teritorial Indonesia, cakupan luasnya sampai 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar Laut Teritorial Indonesia diukur. Pada ZEE tersebut Indonesia memiliki: (a) Hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan pelestarian hidup dan sumber daya alam yang tidak hidup dari tanah dan sub-dasar laut dan perairan dan hak-hak kedaulatan berkenaan dengan kegiatan lain untuk eksplorasi ekonomi dan eksploitasi zona, seperti produksi energi dari arus air, dan angin; (b) Yurisdiksi sehubungan dengan: i) pembentukan dan penggunaan buatan, instalasi pulau dan struktur, ii) penelitian ilmiah kelautan, iii)pelestarian lingkungan laut, iv) hak-hak lain berdasarkan hukum internasional . Dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan navigasi dan penerbangan dan peletakan sub-kabel laut dan pipa akan terus diakui sesuai dengan prinsip-prinsip baru hukum internasional laut.
Indonesia menandatangani UNCLOS pada tanggal 10 Desember 1982, dan telah meratifikasi UNCLOS melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Conventions on the Law of the Sea. Indonesia sebagai penandatangan UNCLOS wajib untuk mencegah, mengurangi dan mengawasi pencemaran lingkungan hidup laut yang khususnya disebabkan oleh adanya instalasi dan peralatan yang dipergunakan dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di permukaan tanah dan bawah laut. Negara anggota juga diminta untuk mengatur dan mengawasi pembangunan instalasi dan penggunaan alat-alat tersebut di atas dan memastikan adanya prosedur keselamatan kerja di laut .
Konsekuensi dari ditandatanganinya UNCLOS oleh Pemerintah Indonesia adalah kontraktor Migas yang beroperasi di Indonesia terutama yang beroperasi di wilayah laut atau lepas pantai (offshore) diwajibkan untuk melakukan ASR dalam pasca operasinya yang sesuai dengan ketentuan UNCLOS agar tidak bertentangan dengan kewajiban Indonesia yang timbul dari Hukum Internasional tersebut.
Kewajiban kontraktor untuk tunduk pada kewajiban Indonesia atas ketentuan UNCLOS sebagaimana telah dinyatakan dalam PSC sebagai berikut : Ketentuan PSC Pasal 5.2.5 : ‘……Program Kerja dilaksanakan tidak bertentangan dengan kewajiban Negara yang timbul dari Hukum Internasional’ . Kewajiban untuk mentaati ketentuan UNCLOS ini tidak hanya bagi pertambangan migas yang Wilayah Kerjanya di lepas pantai (off shore) melainkan juga mengikat pertambangan migas di wilayah daratan (on shore) yang fasilitas FSOnya (Floating Storage and Offloading) berada di tepian pantai.
Indonesia belum meratifikasi Konvensi London. Padahal Konvensi London sangat penting selain Indonesia memiliki anjungan lepas pantai dan memiliki wilayah perairan yang luas (dan masih berpotensi untuk di eksploitasi), Indonesia juga berbatasan dengan negara lain yang memiliki anjungan lepas pantai seperti Australia. Australia merupakan negara penandatangan UNCLOS sejak tahun 1996 dan Konvensi London sejak tahun 1985.
Setelah berakhirnya kontrak atau penyerahan sebagian dari wilayah kontrak atau abandonment dari setiap lapangan, kontraktor harus membongkar dan memindahkan semua peralatan dan pemasangan dari wilayah dengan cara yang disetujui oleh BP Migas dan Pemerintah Indonesia dan melaksanakan semua kegiatan pemulihan yang diperlukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundangaan yang berlaku di Indonesia untuk mencegah bahaya terhadap kehidupan manusia dan barang milik orang lain atau lingkungan. Bagi para pemegang Kontrak Kerja Sama, ASR harus dilakukan sesuai dengan Pedoman Tata Kerja yang ditetapkan oleh BP Migas.
Dalam hal pendanaan ASR, PP Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas mengatur bahwa kontraktor wajib mengalokasikan dana untuk kegiatan pasca operasi Kegiatan Usaha Hulu . Kewajiban tersebut dilakukan sejak dimulainya masa eksplorasi dan dilaksanakan melalui rencana kerja dan anggaran . Penempatan alokasi dana tersebut disepakati Kontraktor dan Badan Pelaksana dan berfungsi sebagai dana cadangan khusus kegiatan pasca operasi Kegiatan Usaha Hulu di Wilayah Kerja yang bersangkutan . Kemudian, tata cara penggunaan dana cadangan khusus untuk pasca operasi lebih lanjut akan ditetapkan dalam Kontrak Kerja Sama .
Pencadangan Dana ASR
Jauh sebelum ASR dilaksanakan, KKKS wajib melakukan pencadangan dana ASR. KKKS wajib menyusun laporan pencadangan dana ASR masing-masing lapangan dalam suatu Wilayah Kerja untuk aset yang sudah ada, sedang dibangun, dan yang akan dibangun, sesuai dalam POD (Plan of Development). Laporan pencadangan dana ASR meliputi rencana kegiatan ASR, perhitungan estimasi biaya ASR, dan pencadangan dana ASR setiap semester.
Pencadangan dana ASR dilakukan oleh kontraktor KKS setiap semester dengan melakukan penyetoran dana dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat ke Rekening Bersama selama jangka waktu pengumpulan. Pemerintah mewajibkan penempatan Dana cadangan ASR pada bank-bank pemerintah di dalam negeri. Sedangkan komponen biaya ASR meliputi biaya : perencanaan teknik, perijinan dan kepatuhan terhadap peraturan, penutupan sumur selain sumur eksplorasi, pembongkaran, transportasi, penyimpanan, pemulihan area (site restoration).
Kontraktor KKS wajib melakukan evaluasi terhadap perkembangan pencadangan Dana ASR dalam rangka kecukupan Dana ASR setiap semester yang dilaporkan dalam laporan pencadangan. Sementara, BPMIGAS wajib melakukan evaluasi terhadap perhitungan estimasi biaya ASR dan pencadangan dana, dan jika diperlukan dapat meminta klarifikasi kepada kontraktor KKS dan/atau menunjuk pihak independen untuk melakukan evaluasi tersebut pada kontraktor KKS.
Pelaksanaan ASR
Dalam hal pasca operasi pertambangan, Pasal 11 ayat (1) UU Migas menyatakan bahwa Kontrak Kerja Sama wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok diantaranya kewajiban pasca operasi pertambangan. Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam Pasal 26 Huruf I Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lebih lanjut, Peraturan Menteri No. 02.P/075/MPE/1992 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi Pasal 24 ayat (1) “Setelah selesainya kegiatan penambangan minyak dan gas bumi, Pengusaha wajib mengadakan reklamasi terhadap lahan yang sudah rusak dan tidak dipergunakan”. Peraturan Menteri ini bertitik berat pada kegiatan onshore.
Berdasarkan PTK, kekurangan dana ASR pada lapangan atau beberapa lapangan dalam satu persetujuan POD yang masih berproduksi dapat dibebankan sebagai Biaya Operasi. Untuk lapangan yang sudah tidak berproduksi, kontraktor KKS wajib menanggung kekurangan dana ASR dan tidak dapat dibebankan sebagai biaya operasi. Kemudian, untuk wilayah Kerja yang sudah tidak berproduksi. Kontraktor KKS wajib menanggung kekurangan Dana ASR dan tidak dapat dibebankan sebagai biaya operasi. Dalam hal dana ASR setelah pelakasanaan ASR pada wilayah kerja yang telah terminasi, maka sisa dana ASR tersebut merupakan dana milik Negara Republik Indonesia .
BPMIGAS merupakan badan yang berfungsi melakukan pengawasan dan pembinaan kepada kontraktor menyangkut pelaksanaan kegiatan operasi pertambangan di sektor hulu. BP Migas juga bertanggung jawab untuk mengatur dan mengontrol pelaksanaan ASR. Pada tahun 2010, BP Migas mengeluarkan Surat Keputusan No. KEP-0139/BP00000/2010/S0 tentang Pedoman Tata Kerja (PTK) Abandonment and Site Restoration. Surat Keputusan ini secara umum memuat : Definisi, maksud dan tujuan, ruang lingkup, pencadangan dana ASR, penempatan dana ASR, pelaksanaan ASR, pencairan dana ASR, pertanggungjawaban pelaksanaan ASR, penutupan rekening bersama dana ASR, dan ketentuan peralihan. PTK Ini juga mengatur pembongkaran fasilitas onshore maupun offshore.
Kontraktor KKS mengajukan usulan pelaksanaan ASR kepada Deputi Pengendalian Operasi BPMIGAS dengan memberikan tembusan kepada Deputi Pengendalian Keuangan dan Kepala Divisi Manajemen Resiko dan Perpajakan untuk mendapatkan persetujuan paling lambat 2 (dua) tahun sebelum pelaksanaan ASR. Usulan pelaksanaan ASR mengacu pada AMDAL yang telah disetujui. Pelaksanaan ASR dapat dilakukan untuk sebagian fasilitas produksi atau sarana penunjang lainnya sebelum tahun rencana ASR lapangan yang bersangkutan. Dan dalam hal diperlukan, BPMIGAS dapat meminta kontraktor KKS untuk melaksanakan ASR.
Dalam hal KKS telah berakhir dan kegiatan operasi Wilayah Kerja dihentikan secara permanen tetapi belum dikeluarkan persetujuan pelaksanaan ASR dari BPMIGAs, maka kontraktor dibebaskan dari kewajiban melaksanakan ASR, otorisasi penggunaan dana ASR sepenuhnya menjadi wewenang BPMIGAS. Sedangkan dalam hal tidak terdapat pengusahaan lagi terhadap Wilayah Kerja, maka kontraktor KKS wajib dan bertanggungjawab untuk melaksanakan ASR.
Pelaksanaan kegiatan ASR wajib dilaksanakan sesuai dengan usulan pelaksanaan ASR yang telah disetujui. Kegiatan ASR antara lain meliputi : perencanaan teknis (engineering design), perijinan dan kepatuhan terhadap peraturan, penutupan sumur, pembongkaran, transportasi, penyimpanan dan pemulihan area (site restoration). Pembongkaran onshore meliputi pembongkaran fasilitas-fasilitas : pipa penyalur, stasiun pengumpul/pemroses, tangki dan aksesoris, terminal, kabel power dan kontrol, fasilitas penunjang (perumahan, workshop, jetty), dan fasilitas lainnya. Sedangkan pembongkaran offshore meliputi pembongkaran fasilitas-fasilitas : anjungan (topside, jacket, fasilitas di anjungan), pipa penyalur, terminal, kabel power dna kontrol, serta fasilitas lainnya.
Pencairan dana ASR
Setelah selesai melaksanakan setiap tahapan pekerjaan untuk ASR, kontraktor KKS mengajukan permintaan pencairan Dana ASR dengan menyampaikan SIB (Surat Instruksi Bersama) yang telah ditandatangani oleh Kontraktor KKS kepada Divisi Manajemen Resiko dan Perpajakan BPMIGAS dengan tembusan kepada Deputi Pengendalian Keuangan dan melampirkan tagihan, berita acara penyelesaian tahapan pekerjaan yang ditandatangani oleh Kontraktor KKS, BPMIGAS dan pihak lain yang terkait serta persetujuan pelaksanaan ASR. Setelah dilakukan evaluasi dan disetujui oleh deputi pengendalian, Deputi Manajemen Resiko dan Perpajakan BPMIGAS mnegkoordinasikan penandatanganan SIB dan menyampaikan kepada Bank Pengelola untuk dicairkan.
Pencairan dana ASR maksimal sesuai dengan jumlah dana ASR yang telah dikumpulkan. Apabila tidak mencukupi maka dalam hal pembebanan biaya dalam KKS berdasarkan WK maka kekurangan pada WK yang masih berproduksi dapat dibebankan sebagai Biaya Operasi, sedangkan untuk WK yang sudah tidak berproduksi, kontraktor KKS wajib menanggung kekurangan dana ASR. Begitu juga jika pembebanan biayanya berdasarkan POD.
Pertanggungjawaban Pelaksanaan ASR
Setelah selesai melaksanakan kegiatan ASR, kontraktor KKS membuat laporan pertanggungjawaban pelaksanaan ASR termasuk laporan penggunaan dananya. Setelah dilakukan evaluasi dan dinyatakan bahwa ASR lapangan/WK telah selesai dilaksanakan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka BPMIGAS mengeluarkan surat pernyataan bahwa ASR telah selesai dilaksanakan.
Apabila masih tersisa dana ASR setelah pelaksanaan ASR pada suatu lapangan, maka sisa dana ASR tersebut akan diperhitungkan dalam pencadangan periode berikutnya untuk lapangan lainnya dalam WK yang bersangkutan. Apabila masih tersisa dana ASR setelah pelaksanaan ASR pada WK yang telah terminasi, maka sisa dana ASR tersebut merupakan dana milik Negara Republik Indonesia.
Setelah menerima surat pernyataan bahwa ASR untuk WK KKKS telah selesai, kontraktor KKS mengirimkan SIB penutupan rekening bersama dana ASR yang telah ditandatangani kepada Divisi Manajemen Resiko dan Perpajakan BPMIGAS. Dalam hal diperlukan, BPMIGAS dapat mengeluarkan SIK penutupan rekening bersama dana ASR. Bank pengelola kemudian mencairkan sisa dana ASR tersebut berdasarkan SIB dan SIK (Surat Instruksi Khusus) penutupan rekening bersama, dan kemudian melakukan adminsitrasi penutupan rekening bersama dana ASR.
Transparansi ASR rtanggungjawaban Pelaksanaan ASR
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam No. 22 tahun 2008 tentang Jenis-jenis Biaya Kegiatan dan Gas Bumi yang Tidak Dapat Dikembalikan Kepada Kontraktor Kontrak Kerjasama menyebutkan bahwa pengelolaan dan penyimpanan dana cadangan untuk abandonment dan site restoration pada rekening Kontraktor Kontrak Kerjasama merupakan jenis biaya yang tidak dapat dikembalikan kepada kontraktor kerjasama. Atas hal ini berarti dana cadangan ASR tersebut tidak dikembalikan kepada kontraktor setelah masa kontrak berakhir.
Pada Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Ketentuan umum menyebutkan definisi operasi perminyakan adalah kegiatan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, penutupan dan peninggalan sumur (plug and abandonment) serta pemulihan bekas penambangan (site restoration) minyak dan gas bumi.
Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) PP No. 79 tahun 2010 mengatur tentang penutupan dan pembiayaan. Berdasarkan pasal tersebut, kontraktor akan membayar biaya penutupan dan pemulihan tambang yang dibebankan untuk satu tahun pajak, dihitung berdasarkan perkiraan penutupan dan pemulihan tambang berdasarkan masa manfaat ekonomis . Besaran biaya akan dihitung oleh tim yang dibentuk oleh badan pelaksana dan pemerintah . Kemudian, cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang tersebut harus disimpan dalam rekening bersama antara Badan Pelaksana dan Kontraktor di bank umum Pemerintah Indonesia . Apabila total realisasi biaya penutupan dan pemulihan tambang lebih kecil atau lebih besar dari jumlah yang dicadangkan, selisihnya menjadi pengurang atau penambah biaya operasi yang dapat dikembalikan dari masing-masing wilayah kerja atau lapangan yang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Kepala Badan Pelaksana .
Berdasarkan PTK, kekurangan dana ASR pada lapangan atau beberapa lapangan dalam satu persetujuan POD yang masih berproduksi dapat dibebankan sebagai Biaya Operasi. Untuk lapangan yang sudah tidak berproduksi, kontraktor KKS wajib menanggung kekurangan dana ASR dan tidak dapat dibebankan sebagai biaya operasi. Kemudian, untuk wilayah Kerja yang sudah tidak berproduksi. Kontraktor KKS wajib menanggung kekurangan Dana ASR dan tidak dapat dibebankan sebagai biaya operasi. Dalam hal dana ASR setelah pelakasanaan ASR pada wilayah kerja yang telah terminasi, maka sisa dana ASR tersebut merupakan dana milik Negara Republik Indonesia .
Berdasarkan Peraturan Menteri No. 22 tahun 2008 tentang Jenis-jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Tidak Dapat Dikembalikan Kepada Kontraktor Kerja Sama pada lampirannya menyebutkan bahwa pengelolaan dan penyimpanan dana cadangan untuk abandonment dan site restoration pada rekening Kontraktor Kerja Sama merupakan biaya yang tidak dapat dikembalikan. Ketentuan mengenai tata cara penggunaan dana cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Menteri . Atas hal ini Peraturan Menteri sebaiknya dapat menjabarkan mekanisme penggunaan dan pengelolaan dana dengan jelas, serta mengadopsi prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta lebih menyempurnakan hal-hal yang diatur dalam PTK BP Migas.
Sejalan dengan prinsip Matching Cost Against Revenue (MCAR), estimasi biaya ASR dikemudian hari harus ditandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari sumur,lapangan, atau WK dari KKS yang bersangkutan. Oleh karena itu, seharusnya estimasi ASR dapat dihitung dan diperlakukan sebagai biaya operasi dalam rangka cost recovery dan dana senilai cost recovery tersebut merupakan nilai pencadangan Dana ASR. Prakek ini akan sejalan dengan prinsip MCAR karena dalam perhitungan bagi hasil KKS, revenue dari lifting minyak dan gas bumi akan dibagi Pemerintah dan KKS dan cost recovery akan ditanggung bersama oleh Pemerintah dan KKS .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar