Bukan cuma
mencemari lingkungan, penambangan emas berdampak pada vegetasi dan hewan air.
Randy Olson/National Geographic
Society/Corbis
Peneliti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Marike Mahmud, mengatakan, dampak negatif dari penambangan emas yang dilakukan
rakyat adalah pencemaran merkuri. Bahkan, dampak lingkungan seperti perubahan
kualitas air, sedimen, hewan air, dan vegetasi akibat penggunaan merkuri dalam
mengekstraksi emas turut menjadi dampaknya.
Hal ini dipaparkannya dalam ujian terbuka program
doktor UGM Bidang Ilmu Geografi dengan disertasinya berjudul "Model
Sebaran Spasial Temporal Konsentrasi Merkuri Akibat Penambangan Emas
Tradisional Sebagai Dasar Monitoring dan Evaluasi Pencemaran Di Ekosistem
Sungai Tulabolo Provinsi Gorontalo", di Yogyakarta, Sabtu (28/4).
Berdasarkan penelitiannya, pencemaran merkuri adalah
hasil proses pengolahan emas secara amalgamasi. Proses amalgamasi emas yang
dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dapat terlepas ke lingkungan.
"Saat proses tahap pencucian inilah, limbah yang
umumnya masih mengandung merkuri dibuang langsung ke badan air. Menjadikan
merkuri tercampur, terpecah-pecah berwujud butiran-butiran halus, yang tentu
sifatnya sukar dipisahkan," papar Marike.
Menurut Marike proses penggilingan yang dilakukan
bersamaan dengan proses amalgamasi menyebabkan proses pencucian merkuri dalam
ampas terbawa masuk sungai. Di dalam air, merkuri dapat berubah menjadi senyawa
organik metil merkuri atau fenil merkuri akibat proses dekomposisi oleh
bakteri. Selanjutnya senyawa organik tersebut akan terserap oleh jasad renik
dan masuk dalam rantai makanan.
"Terjadi akumulasi dan biomagnifikasi dalam tubuh
hewan air seperti ikan dan kerang pada akhirnya masuk juga ke tubuh manusia
melalui makanan yang dikonsumsi," jelasnya.
Seperti di daerah Mohutango, Kabupaten Bone Bolango,
Gorontalo, yang memiliki 46 unit pengolahan emas. Sementara kisaran waktu
pengolahan untuk satu tromol mencapai empat jam, sehingga proses pengolahan
dalam kurun waktu 24 jam, intensitas usaha mencapai lima hingga tujuh kali
proses.
Data menunjukkan terdapat 460 kilogram merkuri yang
dipakai dalam setiap kali putaran. Dari setiap kilogram merkuri maka
menghasilkan 10 gram limbah. Sehingga dapat diperkirakan limbah yang terbuang
ke lingkungan sebesar 4,6 kilogram terbuang ke lingkungan untuk satu kali
putaran. Sedangkan untuk lima kali putar setiap harinya, tentu sebanyak 23
kilogram limbah terbuang ke lingkungan. "Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan,
karena dapat mencemari Sungai Bone. Padahal sungai ini merupakan sumber air
minum masyarakat Gorontalo," tuturnya.
Melihat limbah sudah berdampak pada keluhan kesehatan
masyarakat, disarankan perlu adanya prioritas wilayah pengelolaan untuk
mereduksi dan mencegah terjadinya pencemaran merkuri. Terutama di lokasi yang
menjadi sumber limbah. "Jika sumber limbah dikelola dengan baik maka
konsentrasi merkuri tidak akan menyebar ke arah hilir, dan ekosistem di wilayah
ini akan pulih seperti keadaan alamiahnya," kata Marike.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
Yogyakarta, Suparlan, tak menampik dengan hasil riset tersebut. Ia mengatakan
bahwa penambangan emas tradisional menggunakan unsur merkuri. Dengan demikian,
dampak negatif terhadap lingkungan memang sangat tinggi khususnya kualitas air.
Untuk mengatasi dampak negatif yang lebih parah, ia
menyarankan perlunya pengelolaan penambangan emas rakyat secara komunal.
Artinya, ada pengawasan secara khusus dan tersistematis tentang cara-cara yang
benar dalam menambang emas.
(Olivia Lewi Pramesti)
(Olivia Lewi Pramesti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar